Artikel
-->

8 Nov 2025

"Membangun Negeri Tanpa Melupakan Rakyat Kecil”


ZONA BUSER ,  Di tengah kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kesulitan. Di pelosok desa, di sudut kota, hingga di antara hiruk-pikuk pusat industri, mereka tetap berjuang demi memenuhi kebutuhan dasar — pangan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak.

Rakyat menaruh harapan besar kepada pemerintah agar tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur dan investasi, tetapi juga pada kesejahteraan sosial. Kehidupan yang layak bukanlah kemewahan, melainkan hak setiap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

Sudah saatnya pemerintah melihat dan mendengar jeritan rakyat kecil, mereka yang bekerja keras setiap hari demi sekadar bertahan hidup. Kepedulian dan langkah nyata dari pemangku kebijakan menjadi kunci agar cita-cita keadilan sosial benar-benar terwujud di bumi Indonesia.


Rakyat bukan meminta belas kasihan, melainkan perhatian dan kebijakan yang berpihak. Mereka ingin merasakan hasil dari kemerdekaan yang sejatinya untuk seluruh anak bangsa, bukan hanya segelintir orang yang hidup di lingkar kekuasaan dan kemapanan.

Ketimpangan sosial yang masih terasa di berbagai daerah menjadi cermin bahwa pembangunan belum sepenuhnya merata. Di satu sisi, ada masyarakat yang menikmati kemudahan teknologi dan akses ekonomi; di sisi lain, masih ada warga yang harus berjuang mencari air bersih, pendidikan layak, dan pelayanan kesehatan yang memadai.

Pemerintah diharapkan turun langsung melihat kondisi masyarakat di lapangan — bukan hanya melalui laporan dan data, tetapi dengan mata dan hati. Karena dari sana akan lahir empati, dan dari empati akan lahir kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Rakyat Indonesia percaya bahwa negeri ini bisa menjadi tempat yang adil, sejahtera, dan manusiawi bagi semua. Namun untuk mewujudkannya, dibutuhkan keberpihakan nyata, bukan sekadar janji dalam pidato atau rencana di atas kertas.**)


7 Nov 2025

Imam Ideal, Tak Hanya Fasih tapi Juga Peduli Kondisi Makmum


ZONA BUSER , Soppeng Umat Islam diimbau agar para imam masjid memperhatikan kondisi jamaah ketika memimpin shalat berjamaah. Hal ini terutama penting bila di antara makmum terdapat orang tua, anak kecil, atau jamaah yang memiliki keterbatasan fisik.

Imbauan tersebut merujuk pada tuntunan Rasulullah ﷺ yang bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menjadi imam, maka hendaklah ia memperingan shalat, karena di antara mereka ada orang tua, orang lemah, dan orang yang memiliki keperluan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Prinsip tersebut menekankan bahwa seorang imam hendaknya tidak memperpanjang bacaan Al-Qur’an dalam shalat berjamaah, agar semua jamaah dapat mengikuti dengan khusyuk dan tanpa kesulitan.

“Imam yang baik bukan hanya yang fasih membaca Al-Qur’an, tapi juga yang peka terhadap kondisi makmumnya,” ujar salah satu tokoh agama setempat.

Dengan demikian, keseimbangan antara kekhusyukan dan kepedulian sosial dalam beribadah dapat terjaga, mencerminkan nilai rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan beragama.


Negara Tanpa Jurnalis, Negara Tanpa Cahaya


Dalam kehidupan berbangsa, jurnalis memegang peran yang tak tergantikan. Mereka bukan sekadar pencatat peristiwa, tetapi penjaga akal sehat publik dan pengawas jalannya kekuasaan. Maka, bayangkan jika suatu negara tidak memiliki jurnalis — yang tersisa hanyalah kegelapan informasi dan kekuasaan tanpa kendali.

Tanpa jurnalis, masyarakat kehilangan sumber informasi yang kredibel. Kebenaran akan digantikan oleh rumor, fitnah, dan propaganda dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Tidak ada lagi penyeimbang yang mampu memeriksa kebenaran klaim pemerintah atau pelaku bisnis besar. Akibatnya, warga sulit membedakan mana fakta, mana manipulasi.

Lebih jauh lagi, hilangnya jurnalis berarti hilangnya fungsi pengawasan terhadap kekuasaan. Selama ini, jurnalis adalah “anjing penjaga” demokrasi yang memastikan pejabat, aparat, dan lembaga publik menjalankan tugasnya dengan benar. Tanpa peran itu, korupsi, pelanggaran hukum, dan penyalahgunaan wewenang akan tumbuh subur tanpa kontrol publik.

Jurnalis juga menjadi penyambung suara rakyat. Mereka menghadirkan cerita dari pelosok negeri, dari orang-orang kecil yang sering diabaikan dalam kebijakan. Tanpa mereka, suara rakyat bisa tenggelam dalam hiruk pikuk kepentingan elite. Padahal, keadilan sosial hanya bisa tumbuh ketika setiap warga memiliki ruang untuk didengar.

Lebih dari itu, jurnalis adalah penjaga memori bangsa. Berita-berita yang mereka tulis menjadi catatan perjalanan sejarah — tentang perjuangan, keberhasilan, dan kegagalan bangsa. Jika peran itu hilang, masa depan akan kehilangan pelajaran berharga dari masa lalu.

Karena itu, negara tanpa jurnalis sejatinya adalah negara tanpa cahaya. Pemerintah berjalan tanpa pengawasan, rakyat hidup tanpa informasi, dan demokrasi hanya tinggal nama. Menjaga kebebasan pers berarti menjaga nyala terang bagi masa depan bangsa.




🕯️ 1. Hilangnya sumber informasi yang kredibel

Tanpa jurnalis, masyarakat tidak punya sumber informasi yang bisa dipercaya.
Informasi publik akan dikuasai oleh rumor, propaganda, atau pihak-pihak yang punya kepentingan politik dan ekonomi.
➡️ Akibatnya, warga sulit membedakan mana fakta, mana manipulasi.


⚖️ 2. Tidak ada pengawasan terhadap kekuasaan

Jurnalis adalah “anjing penjaga” (watchdog) negara.
Mereka memeriksa apakah pejabat, aparat, dan lembaga publik menjalankan tugasnya dengan benar.
➡️ Tanpa jurnalis, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM akan meningkat karena tidak ada yang mengawasi.


🗣️ 3. Suara rakyat akan hilang

Jurnalis memberi ruang bagi masyarakat kecil, kelompok rentan, dan warga biasa untuk didengar.
Tanpa mereka, isu rakyat kecil bisa tenggelam di tengah hiruk-pikuk kepentingan elite.


📚 4. Hilangnya rekam jejak sejarah dan kebijakan

Berita adalah catatan perjalanan bangsa.
Jika tidak ada jurnalis yang meliput, menulis, dan mendokumentasikan peristiwa, maka masa depan kehilangan arsip dan pelajaran dari masa lalu.


💔 5. Demokrasi lumpuh, otoritarianisme tumbuh

Tanpa media yang bebas dan jurnalis yang kritis, pemerintah bisa mengontrol seluruh informasi.
➡️ Itulah ciri negara otoriter: hanya ada satu versi kebenaran — versi penguasa.


Kesimpulan

Negara tanpa jurnalis adalah negara tanpa cahaya.
Pemerintah berjalan tanpa pengawasan, rakyat hidup tanpa informasi, dan demokrasi hanya tinggal nama.



4 Nov 2025

Kopi Jadi Teman Saat Stres, Ini Alasannya!


Bagi banyak orang, secangkir kopi bukan sekadar minuman, tapi juga teman di kala stres. Aroma khas dan rasa pahitnya sering dianggap mampu menenangkan pikiran yang penat.

Peneliti menyebutkan bahwa kafein dalam kopi dapat merangsang produksi hormon dopamin dan serotonin, yang berperan dalam meningkatkan suasana hati. Tak heran, setelah menyeruput kopi, seseorang sering merasa lebih segar dan bersemangat.

Namun, ahli kesehatan mengingatkan agar konsumsi kopi tetap dalam batas aman. “Dua cangkir per hari sudah cukup untuk mendapatkan efek positifnya. Terlalu banyak justru bisa memicu cemas dan gangguan tidur,” ujar dr. Rina Astuti, pakar kesehatan dari Universitas Indonesia.

Selain efek kafein, momen menikmati kopi juga berperan besar. Duduk santai di warung kopi atau kafe sambil berbincang ringan dapat membantu tubuh lebih rileks dan menurunkan ketegangan pikiran.

Jadi, tak salah jika banyak yang menjadikan kopi sebagai teman setia di kala stres. Asalkan tidak berlebihan, secangkir kopi bisa jadi cara sederhana untuk menenangkan diri dan menjaga semangat tetap menyala.

3 Nov 2025

Beranda Facebook Makin Panas? Warganet Gerah Lihat Konten Tak Pantas!




Belakangan ini, sejumlah pengguna Facebook mengeluhkan semakin banyaknya foto dan konten yang mengandung unsur senonoh atau tidak pantas beredar di linimasa mereka. 

Konten semacam itu sering muncul dalam bentuk unggahan pribadi, tautan video, maupun grup-grup yang menyebarkan gambar vulgar.


Banyak warganet menyayangkan lemahnya pengawasan terhadap unggahan tersebut. Beberapa di antaranya bahkan muncul di kolom rekomendasi atau iklan, sehingga dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak dan remaja.


“Saya buka Facebook cuma buat lihat kabar teman, tapi sekarang banyak banget foto-foto tidak senonoh lewat di beranda,” ujar salah satu pengguna.// Senin 3/11/2025

Rokok Ilegal Masih Marak, Mengapa Sulit Diberantas?


        Foto Ilustrasi

Peredaran rokok ilegal di Indonesia masih menjadi persoalan serius bagi pemerintah. Meski berbagai upaya penindakan telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), jumlah rokok tanpa pita cukai atau berpita cukai palsu terus bermunculan di pasaran.

Menurut komentar para perokok menyampaikan :

,"Faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama sulitnya memberantas rokok ilegal. Harga rokok legal terus naik akibat tarif cukai yang meningkat setiap tahun, sementara rokok ilegal dijual jauh lebih murah dan mudah ditemukan di pasaran. Hal ini membuat sebagian masyarakat berpenghasilan rendah beralih ke produk ilegal.



Selain itu, penegakan hukum yang belum konsisten serta rendahnya kesadaran masyarakat turut memperparah situasi. Banyak konsumen yang belum memahami bahwa membeli rokok tanpa cukai berarti merugikan negara karena mengurangi penerimaan dari sektor pajak.


Dan kita tunggu tindak lanjut pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk menekan peredaran rokok ilegal. Edukasi publik juga digencarkan agar masyarakat tidak membeli produk tanpa pita cukai.


Meski begitu, para ahli menilai, pemberantasan rokok ilegal tidak cukup hanya dengan penindakan. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup pembinaan terhadap pelaku usaha kecil, penyediaan alternatif mata pencaharian, serta kebijakan harga yang lebih berimbang.


“Selama masih ada kesenjangan harga yang lebar antara rokok legal dan ilegal, pasar rokok ilegal akan terus hidup,” pungkasnya.**/ Senin (3/11/2025)


1 Nov 2025

Kami Jurnalisme Memerangi Kejahatan dan Menegakkan Kebenaran bukan Lawan atau Dimusuhi



     Foto Ilustrasi 

Di tengah arus informasi yang semakin deras, peran jurnalis menjadi semakin vital. Banyak pihak masih memandang jurnalis dengan skeptisisme, bahkan beberapa menganggap mereka sebagai “musuh” karena berani mengungkap fakta yang tidak nyaman. Padahal, tugas utama jurnalis bukanlah menyerang atau memihak, melainkan menyampaikan kebenaran kepada publik.

Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Arif Nugroho, “Jurnalis bukan musuh pemerintah atau masyarakat. Tugas kami adalah menyoroti fakta, mengungkap kejahatan, dan memastikan informasi sampai kepada publik secara akurat dan adil.”

Peran jurnalis tidak hanya penting untuk demokrasi, tetapi juga menjadi pengingat bagi institusi dan individu agar bertindak transparan dan bertanggung jawab. 

Dengan demikian, masyarakat dapat membuat keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang benar, bukan rumor atau berita palsu.


Kritik dan investigasi yang dilakukan jurnalis seringkali dianggap mengganggu kenyamanan, tetapi sebenarnya hal itu merupakan bagian dari upaya menjaga integritas dan keadilan. Seperti yang diungkapkan Arif Nugroho, “Tanpa jurnalis, banyak kejahatan dan ketidakadilan akan tersembunyi dari mata publik.”

Jurnalis, pada intinya, adalah penjaga kebenaran. Mereka tidak mencari sensasi, tetapi memastikan bahwa setiap tindakan yang merugikan masyarakat mendapat sorotan. Masyarakat pun diimbau untuk mendukung kerja jurnalis, bukan memusuhi mereka, demi terciptanya lingkungan informasi yang sehat dan transparan.**)

Kisah Nyata: Kehidupan Jurnalis di Balik Layar Berita

           foto ilustrasi 

Di balik berita yang setiap hari kita baca, ada sosok jurnalis yang bekerja tanpa kenal waktu. Mereka berlari mengejar narasumber, menulis di tengah malam, dan terkadang menghadapi bahaya di lapangan. Namun, di balik dedikasi itu, mereka juga manusia biasa—punya keluarga untuk di nafkahi

“Banyak orang pikir jurnalis itu hidupnya enak, bisa ketemu tokoh penting dan jalan-jalan. Padahal, kami sering pulang larut malam, bahkan tak jarang tanpa uang transport,” ungkap Lina Wulandari, jurnalis media lokal di Semarang. Ia mengaku, penghasilan dari pekerjaannya belum selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Fenomena ini bukan hal baru di dunia jurnalisme Indonesia.

 Di sejumlah daerah, jurnalis masih bekerja dengan honor rendah dan tanpa jaminan sosial. Kondisi itu membuat sebagian di antara mereka harus mencari pekerjaan tambahan demi menopang kehidupan keluarga. Meski begitu, semangat untuk menyajikan berita berkualitas tak pernah padam.


Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kesejahteraan jurnalis merupakan hal yang harus menjadi perhatian serius. “Kebebasan pers tidak akan berarti tanpa kesejahteraan pekerjanya,” ujar seorang perwakilan AJI. Mereka menekankan pentingnya standar gaji minimum dan perlindungan kerja bagi jurnalis di seluruh Indonesia.


Meski menghadapi banyak tantangan, para jurnalis tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Mereka menulis bukan hanya karena profesi, tetapi juga karena panggilan hati—menyampaikan kebenaran kepada publik. Dan di antara semua itu, mereka tetap memikirkan keluarga di rumah, yang menunggu dengan harap dan doa.



“Berita yang kami tulis mungkin hanya dibaca beberapa menit oleh publik. Tapi di baliknya, ada pengorbanan waktu, tenaga, dan cinta,” kata Lina menutup perbincangan dengan senyum.

 1 November 2025**)
© Copyright 2018 ZONABUSER.ID | BERITA TERKINI HARI INI | All Right Reserved