Oleh: Rusdianto Sudirman
Peneliti FPMS, Advokat, dan Dosen IAIN Parepare
Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh kasus yang terjadi di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Seorang pria dilaporkan menjalin hubungan intim dengan ibu mertuanya, yang kemudian mengandung anak dari menantunya sendiri. Ironisnya, istri dari pria tersebut dikabarkan menerima perceraian demi memberi jalan agar sang suami dapat menikahi ibu kandungnya.
Berita ini sontak menyulut perdebatan sengit di ruang publik antara nilai budaya, norma agama, dan tentu saja norma hukum.
Kasus ini tidak sekadar menyentuh rasa keadilan dan moralitas publik, tetapi juga menuntut kejelasan hukum, baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum pidana nasional, khususnya dalam konteks Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Hukum Islam: Haram Abadi
Dalam perspektif hukum Islam, menikahi ibu mertua tergolong haram mu’abbad, larangan yang bersifat permanen. Ketentuan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa ibu dari istri (mertua perempuan) termasuk dalam daftar perempuan yang haram dinikahi. Haramnya tidak hilang meskipun hubungan suami-istri dengan anak kandungnya telah berakhir lewat perceraian atau kematian.
Dengan demikian, pernikahan antara seorang pria dan ibu mertuanya tidak hanya melanggar norma agama, tetapi juga tergolong sebagai pernikahan batil menurut syariat. Majelis Ulama Indonesia (MUI), jika dimintai pendapat, hampir pasti akan menyatakan bahwa perkawinan seperti itu tidak sah secara agama.
Lebih dari sekadar persoalan keabsahan pernikahan, perbuatan tersebut juga mencerminkan kehancuran moral yang luar biasa dalam lingkungan keluarga. Hubungan seksual antara menantu dan mertua bukan hanya tabu secara sosial, tetapi juga mencabik nilai-nilai kesucian keluarga yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Potensi Tindak Pidana: UU TPKS dan Norma Hukum Pidana
Apakah hubungan tersebut masuk kategori tindak pidana? Pertanyaan ini penting mengingat tidak semua perbuatan amoral otomatis tergolong pidana dalam hukum positif. Namun, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membuka kemungkinan untuk menjerat pelaku bila terdapat unsur kekerasan, manipulasi, atau ketergantungan emosional.
Pasal 6 UU TPKS secara tegas menyebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup hubungan seksual yang dilakukan karena ketergantungan, penyalahgunaan kekuasaan, atau relasi kuasa. Dalam konteks ini, penting dilakukan pendalaman fakta: apakah hubungan antara menantu dan ibu mertua tersebut terjadi karena adanya manipulasi psikologis, ketergantungan ekonomi, atau kondisi kerentanan dari pihak mertua. Jika terbukti bahwa relasi tidak setara dan terdapat penyalahgunaan, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU TPKS, khususnya terkait eksploitasi seksual atau kekerasan seksual nonfisik.
Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga masih dapat menjadi landasan. Meskipun tidak terdapat pasal eksplisit tentang larangan hubungan seksual dengan mertua, Pasal 284 KUHP mengatur tentang perzinaan, yang mensyaratkan adanya ikatan perkawinan dari salah satu pihak. Jika sang suami masih terikat pernikahan saat berhubungan dengan ibu mertuanya, maka dapat dikenai delik aduan perzinahan. Namun, karena delik ini bersifat aduan, proses hukum hanya dapat berjalan jika ada laporan dari istri atau pihak yang dirugikan secara langsung.
Dalam kerangka hukum adat yang masih hidup di masyarakat Bugis-Makassar, perbuatan ini bahkan bisa dianggap Mappakasiri-siri, suatu bentuk tindakan yang mencoreng kehormatan keluarga. Adat istiadat di Sulawesi Selatan memandang hubungan antara menantu dan mertua sebagai hubungan yang harus dijaga kesuciannya. Maka, selain berhadapan dengan hukum negara, pelaku juga harus menghadapi sanksi sosial yang tidak ringan.
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya respons yang bijak dari aparat penegak hukum, tokoh agama, dan tokoh adat setempat. Kepolisian perlu memulai penyelidikan berbasis laporan, didukung oleh pendekatan yang tidak semata-mata represif, melainkan juga preventif dan edukatif. Sementara itu, tokoh agama dan tokoh adat memiliki peran krusial dalam memulihkan nilai-nilai moral masyarakat dan menegaskan bahwa keluarga adalah institusi yang harus dilindungi dari perilaku menyimpang.
Tidak kalah penting adalah peran lembaga perlindungan perempuan dan anak. Dalam kasus ini, pihak istri adalah korban ganda, dikhianati suami dan terpaksa menerima perceraian dengan alasan yang tak dapat dibenarkan secara moral. Intervensi psikososial diperlukan agar ia tidak mengalami trauma berkepanjangan.
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan serius bahwa degradasi moral dalam keluarga bisa berdampak luas pada tatanan sosial. Negara tidak boleh membiarkan perbuatan amoral berlindung di balik dalih suka sama suka atau kelonggaran hukum formil. Dalam jangka panjang, edukasi moral, penguatan hukum keluarga, dan penegakan UU TPKS harus berjalan seiring untuk mencegah kasus serupa terulang.
Menghalalkan hubungan antara menantu dan mertua bukan hanya soal salah kaprah, tetapi juga pengkhianatan terhadap norma tertinggi dalam agama, adat, dan hukum. Publik berhak marah. Namun, lebih dari itu, negara wajib hadir.
FOLLOW THE ZONABUSER.ID | BERITA TERKINI HARI INI AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow ZONABUSER.ID | BERITA TERKINI HARI INI on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram